Tampilkan postingan dengan label PPN. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label PPN. Tampilkan semua postingan

Senin, 04 Juni 2012

Bagaimana menentukan kredit pajak masukan atas penyerahan yang terutang pajak dan tidak terutang pajak?



http://www.docstoc.com/docs/114736101/PENGKREDITAN-PAJAK-MASUKAN

Seperti telah diketahui bahwa atas penyerahan Barang/Jasa Kena Pajak (BKP/JKP) yang tidak dikenai PPN (Pasal 4A UU PPN) termasuk yang dibebaskan (Pasal 16B UU PPN), maka Wajib Pajak tidak dapat mengkreditkan PPN pajak masukannya.

Lantas bagaimana untuk satu BKP/JKP yang dibeli untuk menghasilkan BKP/JKP yang akan dijual tergolong yang terutang PPN dan yang tidak atau dibebaskan? Misalkan Wajib Pajak yang menghasilkan produk berupa buah jagung dan minyak jagung, bagaimana penghitungan pengkreditan pajak masukannya atas pembelian truk yang tentunya digunakan untuk menghasilkan kedua produk tersebut? Yaitu atas penyerahan jagung (tidak dikenai) dan minyak jagung (dikenai PPN). Serta berapa nilai PPN pajak masukan yang dapat dikreditkan sehubungan dengan masa manfaatnya?  Truk adalah barang modal dan atas PPN pajak masukannya dapat dikreditkan sepanjang PKP belum berproduksi sehingga belum melakukan penyerahan BKP/JKP.

Jadi untuk pajak masukan yang tidak dapat ditentukan pasti jumlahnya atas penyerahan yang terutang pajak, maka jumlah pajak masukan yang dapat dikreditkan untuk penyerahan pajak yang terutang pajak tersebut dihitung menggunakan pedoman penghitungan pajak masukan yang dapat dikreditkan. Ketentuannya ada pada Peraturan Menteri Keuangan R.I. Nomor 78/PMK.03/2010 tentang Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak Yang Melakukan Penyerahan Yang Terutang Pajak Dan Penyerahan Yang Tidak Terutang Pajak.

Langkah pertama adalah mencari nilai pajak masukan yang dapat dikreditkan dengan rumus :
P = PM x Z
P     :  jumlah pajak masukan yang dapat dikreditkan
PM   :  jumlah pajak masukan atas perolehan BKP/JKP
Z     :  persentase yang sebanding dengan jumlah penyerahan yang terutang pajak terhadap penyerahan seluruhnya

Langkah kedua adalah menghitung kembali nilai pajak masukan yang dapat dikreditkan untuk tahun buku yang bersangkutan dengan rumus :
1.       Untuk BKP/JKP yang masa manfaatnya lebih dari satu tahun
P’ =
PM
x  Z’
T
P'     :  jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dalam 1(satu) tahun buku;
PM   :  jumlah Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena              Pajak.
T     :  masa manfaat Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang ditentukan sebagai berikut :
  1)  untuk Barang Kena Pajak berupa tanah dan bangunan adalah 10 (sepuluh) tahun;
  2)  untuk Barang Kena Pajak selain tanah dan bangunan dan Jasa Kena Pajak adalah 4 (empat) tahun;
Z'    :   persentase yang sebanding dengan jumlah Penyerahan yang Terutang Pajak terhadap seluruh penyerahan dalam 1 (satu) tahun buku.

2.       Untuk BKP/JKP yang masa manfaatnya satu tahun atau kurang
P’ = PM x Z
P’     :   jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dalam 1 (satu) tahun buku;
PM    :   jumlah Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak;
Z'     :   adalah persentase yang sebanding dengan jumlah Penyerahan yang Terutang Pajak terhadap seluruh penyerahan dalam 1 (satu) tahun buku.

Ketentuan di atas berlaku sejak tanggal 1 April 2010, sedangkan aturan sebelumnya Keputusan Menteri Keuangan R.I. Nomor 575/KMK.04/2000 tidak berlaku lagi. 

Contoh kasusnya, silahkan klik di sini.

Kamis, 24 Mei 2012

Buku pelajaran umum, kitab suci dan buku pelajaran agama dibebaskan PPN


Seperti diketahui bahwa ada penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) tertentu yang tidak dikenai PPN serta atas impor dan atau penyerahannya ada juga yang dibebaskan. Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 146 Tahun 2000 sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 38 Tahun 2003 tentang Impor dan atau Penyerahan BKP Tertentu dan atau Penyerahan JKP Tertentu yang Dibebaskan Dari Pengenaan PPN disebutkan BKP tertentu yang atas impor dan atau penyerahannya dibebaskan antara lain buku-buku pelajaran umum, kitab suci dan buku-buku pelajaran agama. Lantas apa defenisi dan penjabaran lebih lanjut mengenai BKP tersebut?

Di dalam Undang-Undang PPN sebagaimana telah diubah terakhir Nomor 42 Tahun 2009 Pasal 16B ayat (1) disebutkan terdapat pajak terutang yang tidak dipungut atau dibebaskan, dengan maksud memberikan kemudahan antara lain dalam hal meningkatkan pendidikan dan kecerdasan bangsa dengan membantu tersedianya buku pelajaran umum, kitab suci, dan buku pelajaran agama dengan harga yang relatif terjangkau masyarakat. Pengetian tersebut tentunya ditujukan untuk penyerahan BKP yang dibebaskan sesuai PP di atas.

Adapun rincian jenis buku pelajaran umum, kitab suci dan buku pelajaran agama diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan RI. Nomor 353/KMK.03/2001 tentang Batasan Buku-Buku Pelajaran Umum, Kitab Suci dan Buku-buku Pelajaran Agama atas Impor dan atau Penyerahannya Dibebaskan dari Pengenaan PPN.
  1. Buku-buku pelajaran umum adalah buku-buku pelajaran pokok, penunjang dan kepustakaan yang dipergunakan oleh Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, Sekolah Lanjutan Tingkat Atas, Sekolah Luar Biasa, Perguruan Tinggi / Universitas, termasuk Sekolah Kejuruan, Lembaga Pendidikan Masyarakat di jalur Pendidikan Luar Sekolah dan Pendidikan Keagamaan mulai Tingkat Dasar sampai dengan Perguruan Tinggi yang mendukung kurikulum Sekolah yang bersangkutan, termasuk buku pelajaran umum yang telah disahkan sebagai buku pelajaran umum oleh Menteri Pendidikan Nasional atau pejabat yang ditunjuk.
  2. Tidak termasuk dalam pengertian buku-buku pelajaran umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah :
        a.   buku hiburan;
        b.   buku roman populer;
        c.   buku sulap;
        d.   buku iklan;
        e.   buku promosi suatu usaha;
        f.    buku katalog diluar keperluan pendidikan;
        g.   buku karikatur;
        h.   buku horoskop;
        i.    buku horor;
        j.    buku komik;
        k.   buku reproduksi lukisan.
  3. Kitab Suci adalah:
  • Kitab Suci Agama Islam meliputi Kitab Suci Al-qur'an, termasuk Tafsir dan terjemahannya baik secara keseluruhan maupun sebagian-sebagian dan Jus Amma;
  • Kitab Suci Agama Kristen Protestan meliputi Kitab Suci Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru termasuk Tafsir dan terjemahannya baik secara keseluruhan maupun sebagian-sebagian;
  • Kitab suci Agama Katolik meliputi Kitab Suci Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru termasuk Tafsir dan terjemahannya baik secara keseluruhan maupun sebagian-sebagian;
  • Kitab suci Agama Hindu meliputi Kitab Suci Weda, Smerti dan Sruti, Upanisad, Hitihasa, Purnama termasuk Tafsir dan terjemahannya baik secara keseluruhan maupun sebagian-sebagian;
  • Kitab suci Agama Budha meliputi Kitab Suci Tripitaka termasuk Tafsir dan terjemahannya baik secara keseluruhan maupun sebagian-sebagian;
  • Kitab lainnya yang telah ditetapkan sebagai kitab suci oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk.
4. Buku-buku pelajaran agama adalah buku-buku untuk keperluan pendidikan dan kepustakaan di bidang Agama yang dipergunakan pada Perguruan Umum dan Pendidikan Keagamaan dari Tingkat Dasar sampai dengan Perguruan Tinggi, Pondok Pesantren dan Sekolah Kejuruan yang mendukung kurikulum sekolah yang bersangkutan, termasuk buku pelajaran agama yang telah disahkan sebagai buku pelajaran agama oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk.

5. Tidak termasuk dalam pengertian buku-buku pelajaran agama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
    adalah:
    a.    buku hiburan;
    b.    buku roman populer;
    c.    buku karikatur;
    d.    buku komik;
    e.    buku reproduksi lukisan.

Kamis, 01 Maret 2012

1111 DM, apa maksudnya?

Menurut saya ada singkatan yang agak aneh untuk mengartikan ketentuan PPN ini. Ya, Formulir 1111 DM. Formulir Surat Pemberitahuan (SPT) Masa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 1111 DM adalah laporan PPN untuk Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang PPN masukannya menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan pajak masukan. Ada yang menyebutnya deemed (dibaca : dim) pajak masukan. Sesuai kamus bahasa Inggris, deemed diterjemahkan "dianggap", jadi secara keseluruhan diartikan "dianggap sebagai pajak masukan". Jadi mungkin DM di dalam 1111 DM adalah kependekan dari DeeMed atau Deemed Masukan.






Untuk selanjutnya, untuk mempersingkat penyebutan, saya menggunakan deemed Pajak Masukan (PM) untuk menyebutkan pedoman penghitungan pengkreditan pajak masukan ini.


Penghitungan yang dianggap pajak masukan tersebut dengan menggunakan persentase seperti norma di dalam menentukan penghasilan netto untuk penghitungan pajak WP orang pribadi di SPT Tahunan. Jadi Pajak Keluaran (PK) yang ditentukan 10% dapat dikurangkan dengan Pajak Masukan (PM) yang nilainya ditentukan dengan persentase dari PK. Secara sederhana deemed PM digunakan untuk PKP yang tidak memiliki PM yang dibuktikan dengan Faktur Pajak. Sehingga PK tetap dapat dikurangkan dengan PM tetapi dengan menggunakan deemed pajak masukan.


Deemed pajak masukan digunakan oleh PKP dengan dua ketentuan, yaitu dilihat dari jumlah peredaran usaha atau jenis usaha. Di dalam UU PPN No. 42 Tahun 2009 :

  1. Pasal  8 ayat (7) untuk PKP yang memiliki peredaran usaha dalam 1 (satu) tahun tidak melebihi jumlah tertentu dan
  2. Pasal 8 ayat (7a) untuk PKP yang melakukan kegiatan usaha tertentu.


Ketentuan rincinya ada di :
  1. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 74/PMK.03/2010 untuk peredaran usaha;
  2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 79/PMK.03/2010 untuk kegiatan usaha dan
  3. Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-63/PJ/2010 untuk keduanya (juklaknya).

A. PEREDARAN USAHA
Deemed PM dapat digunakan untuk PKP yang peredaran usahanya tidak melebihi 1,8 milyar rupiah. Besarnya PM yang dapat dikreditkan adalah :
  • Untuk penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) sebesar 60% dari PK dan
  • Untuk penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) sebesar 70% dari PK.
atau dapat disimpulkan PPN terutang adalah 4% dari peredaran usaha setiap bulannya untuk penyerahan JKP dan 3% untuk penyerahan BKP.

B. JENIS USAHA
Deemed PM juga dapat digunakan untuk PKP yang usahanya hanya melakukan penyerahan kendaraan bermotor bekas secara eceran dengan persentase 90% dari PK atau PPN terutangnya 1% dari peredaran usaha dan PKP yang usahanya hanya melakukan penyerahan emas perhiasan dengan persentase 80% dari PK atau PPN terutangnya 2% dari peredaran usaha setiap bulannya.  

Contoh :
PKP melakukan penyerahan JKP untuk bulan Januari 2012 sebesar 50 juta rupiah, maka PK-nya adalah : 10% x 50.000.000 = 5.000.000 dan PM-nya adalah : 60% x 5.000.000 = 3.000.000. Jadi PPN kurang bayar untuk bulan Januari 2012 adalah 5.000.000 - 3.000.000 = 2.000.000.

Yang jadi pertanyaan mana yang lebih besar PM-nya, karena itu yang lebih menguntungkan oleh karena PM sebagai kredit pajak atau pengurang PK. Untuk PKP yang memenuhi  kriteria dari jenis usaha wajib menggunakan deemed PM dengan melaporkan 1111 DM, sedangkan untuk PKP dengan kriteria peredaran usaha dapat menggunakan deemed PM apabila :
  1. Peredaran usaha dalam 2 (dua) tahun buku tidak melebihi 1,8 milyar untuk setiap tahun bukunya (tetapi untuk selanjutnya apabila dalam suatu masa peredaran usahanya telah melebihi 1,8 milyar PKP tersebut wajib memperhitungkan PPN normal PK-PM dengan melaporkan 1111) atau
  2. PKP baru (yaitu pengukuhan PKP di bawah 2 tahun).




Nah, tetapi untuk point 1 sebaiknya PKP jangan langsung beralih ke deemed PM, karena kalau hitungan saya apabila diperkirakan kenaikan nilai jual dari nilai beli di bawah 42,86% untuk penyerahan BKP dan 66,67% untuk JKP sebaiknya diusahakan untuk faktur pajak PM saja karena kalau PKP memperhitungkan PM dengan deemed PM, maka nilainya bisa lebih kecil.

Contoh :
PKP melakukan pembelian BKP sebesar 5o juta rupiah dia akan menjual dengan harga 55 juta rupiah atau hanya kenaikan 10%, maka sebaiknya diusahakan untuk memperoleh Faktur Pajak PM, yaitu sebesar : 50.000.000 x 10% = 5.000.000, tetapi apabila PKP tersebut menggunakan deemed PM, maka PM yang dapat dikreditkan hanya sebesar : 70% x 5.500.000 (55.000.000 x 10%) = 3.850.000.     

Selamat menunaikan kewajiban perpajakan anda...




 

Rabu, 29 Februari 2012

Faktur Pajak yang Digunggung

Segala jenis ilmu kalau tidak disering dipakai jadi lupa, begitu juga pajak. Pada saat ada teman tanya atau pada saat ada kasus, aturan kita cari dan dapat kita pahami saat itu, tetapi beberapa bulan atau tahun ke depan, ada lagi kasus yang sama jadi lupa pengertian dan aturannya. Ada baiknya pada saat saya ingat, saya masukkan sebagai entri blog ini.  

Untuk kali ini saya akan membahas pengertian Faktur Pajak yang digunggung di dalam laporan SPT Masa PPN 1111, yaitu pada formulir 1111 AB. 

Arti kata gunggung adalah jumlah, sejumlah atau sebanyak. Jadi yang faktur pajaknya dijumlahkan atau untuk beberapa faktur pajak. Faktur pajak yang dapat digunggung adalah faktur pajak yang tidak memuat identitas pembeli serta nama dan tanda tangan penjual, sesuai petunjuk pengisian Formulir SPT Masa PPN. Tetapi sayangnya tidak dijelaskan Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang bagaimana yang dapat menerbitkan faktur pajak yang dapat digunggung tersebut dan bagaimana bentuk faktur pajak yang dapat digunggung di dalam petunjuk pengisian SPT tersebut. Di dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor : PER-58/PJ/2010 dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor : SE-137/PJ/2010 tentang Faktur Pajak PKP Pedagang Eceran (PE). PKP PE adalah Pengusaha Kena Pajak yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dengan cara sebagai berikut :
a. melalui suatu tempat penjualan eceran seperti toko dan kios atau langsung mendatangi dari satu tempat konsumen akhir ke tempat konsumen akhir lainnya;
b. dengan cara penjualan eceran yang dilakukan langsung kepada konsumen akhir, tanpa didahului dengan penawaran tertulis, pemesanan tertulis, kontrak, atau lelang; dan
c. pada umumnya penyerahan Barang Kena Pajak atau transaksi jual beli dilakukan secara tunai dan penjual langsung menyerahkan Barang Kena Pajak atau pembeli langsung membawa Barang Kena Pajak yang dibelinya.

PKP PE dapat menerbitkan faktur pajak paling sedikit memuat :
a. nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak;
b. jenis Barang Kena Pajak yang diserahkan;
c. jumlah Harga Jual yang sudah termasuk Pajak Pertambahan Nilai atau besarnya Pajak Pertambahan Nilai dicantumkan secara terpisah;
d. Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut; dan
e. kode, nomor seri dan tanggal pembuatan Faktur Pajak.

Jadi PKP PE dapat menerbitkan faktur pajak tanpa memuat identitas pembeli serta nama dan tanda tangan penjual sesuai faktur pajak pada umumnya sesuai UU PPN Pasal 13 (5). Lalu bagaimana dengan kode dan nomor serinya dan bentuk faktur pajaknya?
Kode dan nomor seri faktur pajak dapat berupa nomor nota, kode nota, atau ditentukan sendiri oleh PKP PE. Sedangkan bentuk faktur pajaknya dapat berupa :
a. bon kontan,
b. faktur penjualan,
c. segi cash register,
d. karcis, 
e. kuitansi, atau
f. tanda bukti penyerahan atau pembayaran lain yang sejenis. 

Untuk yang penyerahan BKP/JKP dengan faktur pajak sesuai kriteria dalam Pasal 13 (5) UU PPN disebut faktur pajak yang tidak digunggung, yaitu dari formulir 1111 A2. 
  
 
© Copyright 2035 Easy Tax
Theme by Yusuf Fikri