Minggu, 04 September 2016

Amnesti Pajak, Antara Hak dan Kewajiban

 

Mengapa perlu ada amnesti pajak? Bisa jadi tergantung kondisi Wajib Pajak (WP). Amnesti pajak bisa menjadi kewajiban atau hak. Kewajiban warga negara untuk membangun negerinya, berinvestasi, menciptakan lapangan kerja sehingga pertumbuhan ekonomi bisa meningkat. Hak WP untuk memanfaatkan kesempatan menerima pengampunan pajak, tentunya untuk pajak-pajak yang belum terpenuhi di tahun 2015 dan sebelumnya. Tetapi kenapa ada hak pengampunan? 

Seperti diketahui ketentuan perpajakan mengatur hak WP mengajukan keberatan, penghapusan atau pengurangan sanksi, pembatalan dan lainnya, tetapi hanya untuk jenis dan masa pajak tertentu. Pengampunan pajak muncul akibat telah menumpuknya kewajiban-kewajiban pajak yang belum terpenuhi. Begitu banyak WP dan dari begitu banyak data yang di miliki DJP.

Berarti ada kaitannya antara begitu banyak kewajiban pajak yang tidak terpenuhi dengan amnesti pajak. Semua WP wajib melaporkan semua penghasilan dan dihitung pajaknya, termasuk melaporkan harta dan utang. Sebagai gantinya WP mendeklarasikan harta dan utang di dalam Surat Pernyataan Harta serta membayar uang tebusan. Dengan melihat korelasi keduanya, maka amnesti pajak menjadi wajib. Wajib memenuhi kewajiban perpajakan serta membangun negeri dengan berinvestasi.

Jadi apanya yang hak? Ya, biar gak rame, atau yang berpendapat demikian juga sama pemahamannya dengan yang bikin rame. Akibatnya ya.., gak lurus-lurus

Sederhananya gini, warga negara ada kewajiban pajak, tetapi ada banyak yang tidak patuh karena sengaja atau karena ketidaktahuan, bisa dikatakan semua WP sedikit banyaknya ada salah, makanya ada amnesti pajak. Cuma karena memang sudah wataknya manusia, masih juga dimanfaatkan hanya untuk sekedar diampuni pajaknya, jadinya tidak jujur dalam pengungkapan hartanya.
 

Selasa, 24 Februari 2015

pajak oh... pajak...

Pada suatu kesempatan, acara sosialisasi perpajakan dengan peserta Wajib Pajak Bendahara pemerintah daerah. Seperti biasa, secara formal acara dibuka oleh yang mewakili pimpinan daerah bersama penyampaian kata sambutan. Singkat cerita, dalam wejangannya, yang mewakili pimpinan daerah tadi menyinggung pengenaan pajak atas usaha frainchase (seperti Indomaret atau Alfamart), yang katanya, atau mungkin yang sepemahamannya, dikenakan dua kali. Maksudnya PPN dan PPh kali, ya... Trus saya semakin sedih, ketika pejabat tersebut mengeluhkan proses perpanjangan STNK yang harus melampirkan fotokopi KTP.

Atau jangan-jangan yang sedang baca artikel ini juga pada belum tahu, dimana gak nyambungnya apa yang dibahas pejabat di atas dengan tema acara yang sedang dihadirinya? Tapi tahu kan, kalau pajak merupakan sumber penerimaan negara yang terbesar? Lalu untuk membiayai hampir semua belanja negara yang didanai oleh pemerintah, yang ujung-ujungnya untuk kesejahteraan rakyat, termasuk pejabat tadi.

--==--

Pada suatu kesempatan, acara sosialisasi Tax Go To School, anak-anak tingkat SMP.
"Adik-adik..., kita mulai dengan pengertian apa sih pajak itu?"
"Pajak merupakan iuran wajib kepada negara yang bersifat memaksa dan tidak memperoleh imbalan secara langsung,"
"Trus, pajak dibagi menjadi dua, tergantung siapa yang mengelolanya, yaitu pajak daerah dan pusat,"
"Pajak daerah yang dikelola oleh pemerintah daerah, yaitu kabupaten atau kota, antara lain pajak restoran, hotel, hiburan, reklame, termasuk pajak kendaraan bermotor,"
"Sedangkan pajak pusat yang dikelola oleh pemerintah pusat, antara lain Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai,"
"Jadi, pajak itu tidak hanya PBB saja..."
"Lalu siapa yang membayar pajak? Pihak yang membayar pajak disebut wajib pajak, bisa perorangan atau badan usaha,"

bla...bla...bla...

"Ada pajak penghasilan, yaitu pajak yang dikenakan atas penghasilan yang diterima oleh orang pribadi maupun badan usaha,"
"Dan pajak pertambahan nilai, yaitu pajak yang dikenakan karena melakukan penyerahan atau penjualan barang/jasa tertentu, jadi tidak setiap wajib pajak, wajib memenuhi PPN dan juga tidak setiap penyerahan dihitung PPN-nya."

Beragam ekspresi mereka, ada yang bengong, nganggung-ngangguk, lalu sayup-sayup ada yang berkata: kalau pajak perpanjangan STNK sih, sudah tau saya, yang ngurusnya SAMSAT, bukan bapak-bapak ini...


maunya penerimaan pajak tercapai
tetapi pejabatnya tidak pandai
bukan sekedar remunerasi yang naik
mari berikan tauladan yang baik

Senin, 04 Juni 2012

Bagaimana menentukan kredit pajak masukan atas penyerahan yang terutang pajak dan tidak terutang pajak?



http://www.docstoc.com/docs/114736101/PENGKREDITAN-PAJAK-MASUKAN

Seperti telah diketahui bahwa atas penyerahan Barang/Jasa Kena Pajak (BKP/JKP) yang tidak dikenai PPN (Pasal 4A UU PPN) termasuk yang dibebaskan (Pasal 16B UU PPN), maka Wajib Pajak tidak dapat mengkreditkan PPN pajak masukannya.

Lantas bagaimana untuk satu BKP/JKP yang dibeli untuk menghasilkan BKP/JKP yang akan dijual tergolong yang terutang PPN dan yang tidak atau dibebaskan? Misalkan Wajib Pajak yang menghasilkan produk berupa buah jagung dan minyak jagung, bagaimana penghitungan pengkreditan pajak masukannya atas pembelian truk yang tentunya digunakan untuk menghasilkan kedua produk tersebut? Yaitu atas penyerahan jagung (tidak dikenai) dan minyak jagung (dikenai PPN). Serta berapa nilai PPN pajak masukan yang dapat dikreditkan sehubungan dengan masa manfaatnya?  Truk adalah barang modal dan atas PPN pajak masukannya dapat dikreditkan sepanjang PKP belum berproduksi sehingga belum melakukan penyerahan BKP/JKP.

Jadi untuk pajak masukan yang tidak dapat ditentukan pasti jumlahnya atas penyerahan yang terutang pajak, maka jumlah pajak masukan yang dapat dikreditkan untuk penyerahan pajak yang terutang pajak tersebut dihitung menggunakan pedoman penghitungan pajak masukan yang dapat dikreditkan. Ketentuannya ada pada Peraturan Menteri Keuangan R.I. Nomor 78/PMK.03/2010 tentang Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak Yang Melakukan Penyerahan Yang Terutang Pajak Dan Penyerahan Yang Tidak Terutang Pajak.

Langkah pertama adalah mencari nilai pajak masukan yang dapat dikreditkan dengan rumus :
P = PM x Z
P     :  jumlah pajak masukan yang dapat dikreditkan
PM   :  jumlah pajak masukan atas perolehan BKP/JKP
Z     :  persentase yang sebanding dengan jumlah penyerahan yang terutang pajak terhadap penyerahan seluruhnya

Langkah kedua adalah menghitung kembali nilai pajak masukan yang dapat dikreditkan untuk tahun buku yang bersangkutan dengan rumus :
1.       Untuk BKP/JKP yang masa manfaatnya lebih dari satu tahun
P’ =
PM
x  Z’
T
P'     :  jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dalam 1(satu) tahun buku;
PM   :  jumlah Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena              Pajak.
T     :  masa manfaat Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang ditentukan sebagai berikut :
  1)  untuk Barang Kena Pajak berupa tanah dan bangunan adalah 10 (sepuluh) tahun;
  2)  untuk Barang Kena Pajak selain tanah dan bangunan dan Jasa Kena Pajak adalah 4 (empat) tahun;
Z'    :   persentase yang sebanding dengan jumlah Penyerahan yang Terutang Pajak terhadap seluruh penyerahan dalam 1 (satu) tahun buku.

2.       Untuk BKP/JKP yang masa manfaatnya satu tahun atau kurang
P’ = PM x Z
P’     :   jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dalam 1 (satu) tahun buku;
PM    :   jumlah Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak;
Z'     :   adalah persentase yang sebanding dengan jumlah Penyerahan yang Terutang Pajak terhadap seluruh penyerahan dalam 1 (satu) tahun buku.

Ketentuan di atas berlaku sejak tanggal 1 April 2010, sedangkan aturan sebelumnya Keputusan Menteri Keuangan R.I. Nomor 575/KMK.04/2000 tidak berlaku lagi. 

Contoh kasusnya, silahkan klik di sini.

Minggu, 03 Juni 2012

Sumbangan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto


http://rizkyillahi.blogspot.com/2011/04/donasi-sumbangan-untuk-blog-rizky.html

Sesuai Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 93 Tahun 2010 tentang Sumbangan Penanggulangan Bencana Nasional, Sumbangan Penelitian Dan Pengembangan, Sumbangan Fasilitas Pendidikan, Sumbangan Pembinaan Olahraga, Dan Biaya Pembangunan Infrastruktur Sosial Yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 76/PMK.03/2011 tentang Pencatatan dan Pelaporannya yang mulai diberlakukan sejak tahun 2010, disebutkan bahwa sumbangan dan/atau biaya yang dapat dikurangkan dengan penghasilan bruto adalah :

1.      Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional, yang merupakan sumbangan untuk korban bencana nasional yang disampaikan secara langsung melalui badan penanggulangan bencana atau disampaikan secara tidak langsung melalui lembaga atau pihak yang telah mendapat izin dari instansi/lembaga yang berwenang untuk pengumpulan dana penanggulangan bencana;
2.      Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan, yang merupakan sumbangan untuk penelitian dan pengembangan yang dilakukan di wilayah Republik Indonesia yang disampaikan melalui lembaga penelitian dan pengembangan;
3.      Sumbangan fasilitas pendidikan, yang merupakan sumbangan berupa fasilitas pendidikan yang disampaikan melalui lembaga pendidikan;
4.   Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga, yang merupakan sumbangan untuk membina, mengembangkan dan mengoordinasikan suatu atau gabungan organisasi cabang/jenis olahraga prestasi yang disampaikan melalui lembaga pembinaan olah raga; dan
5.       Biaya pembangunan infrastruktur sosial merupakan biaya yang dikeluarkan untuk keperluan membangun sarana dan prasarana untuk kepentingan umum dan bersifat nirlaba.

Sumbangan tersebut di atas dapat dikurangkan dengan penghasilan bruto apabila :
a.      Wajib Pajak mempunyai penghasilan neto fiskal berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak sebelumnya;
b.     pemberian sumbangan dan/atau biaya tidak menyebabkan rugi pada Tahun Pajak sumbangan diberikan;
c.      didukung oleh bukti yang sah; dan
d.      lembaga yang menerima sumbangan dan/atau biaya memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, kecuali badan yang dikecualikan sebagai subjek pajak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan (Pasal 3 UU PPh No. 36/2008).

Sedangkan besarnya sumbangan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto hanya sebesar maksimal 5% dari penghasilan netto fiskal tahun pajak sebelumnya.

Contoh :
Misalkan Penghasilan neto fiskal Wajib Pajak adalah Rp60.000.000.000,00 (enam puluh milyar rupiah) maka jumlah sumbangan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto yaitu maksimal 5% (lima persen) atau sebesar Rp3.000.000.000,00 (tiga milyar rupiah). Apabila Wajib Pajak memberikan sumbangan sebesar Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) maka yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto hanya sebesar Rp3.000.000.000,00 (tiga milyar rupiah).

Ketentuan tersebut tidak berlaku apabila sumbangan diberikan kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 (4) UU PPh No. 38/2008.

Sumbangan untuk no. 1 sampai dengan 4 di atas dapat diberikan berupa uang dan/atau barang. Untuk sumbangan berbentuk barang dapat ditentukan nilainya, yaitu :
a.       Nilai perolehan apabila barang tersebut belum disusutkan;
b.      Nilai sisa/nilai buku fiskal apabila barang tersebut sudah disusutkan; dan
c.       Harga pokok penjualan apabila barang yang disumbangkan merupakan produk sendiri.

Sedangkan untuk nomor 5 sumbangan dapat diberikan hanya dalam bentuk sarana dan/atau prasarana dan nilai yang diperhitungkan adalah nilai pembangunan infrastruktur sosial tersebut, yaitu jumlah yang sesungguhnya dikeluarkan untuk membangun sarana dan/atau prasarana.

Contoh :
Untuk pembebanan sumbangan yang diperhitungkan lebih dari satu tahun pajak, misalkan PT. ABC pada tahun 2010 mengeluarkan biaya infrastruktur sosial berupa tempat ibadah sebesar 64 juta rupiah dan tahun 2011 dikeluarkan lagi tambahan biaya infrastruktur sosial atas pembangunan tempat ibadah tersebut sebesar 60 juta rupiah. Penghasilan netto fiskal tahun pajak 2009 sebesar 800 juta rupiah dan tahun pajak 2010 sebesar 1 milyar rupiah, maka penghitungan biaya atas sumbangan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto tahun pajak 2011 adalah :
-          2010 : 800 juta rupiah x 5% = 40 juta rupiah
-          2011 : 1 milyar rupiah x 5% = 50 juta rupiah
-          Total 90 juta rupiah

Sumbangan yang dilakukan tersebut wajib dicatat peruntukannya oleh pemberi sumbangan.

Laporan penerima sumbangan (klik di sini) :
Ø  Untuk Badan penanggulangan bencana dan lembaga atau pihak yang menerima sumbangan untuk nomor 1 harus menyampaikan laporan penerimaan dan penyaluran sumbangan
kepada Direktur Jenderal Pajak untuk setiap triwulan.
Ø  Lembaga penerima sumbangan dan/atau biaya untuk nomor 2 sampai dengan 5 wajib menyampaikan laporan penerimaan sumbangan kepada Direktur Jenderal Pajak paling lambat pada akhir Tahun Pajak diterimanya sumbangan dan/atau biaya.
Ø  Lembaga penerima sumbangan dan/atau biaya yang mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak melaporkan sumbangan dan/atau biaya tersebut sebagai lampiran laporan keuangan pada Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak diterimanya sumbangan.

Laporan pemberi sumbangan (klik di sini) :
Ø  Bukti penerimaan sumbangan dan/atau biaya wajib dilampirkan oleh Wajib Pajak pemberi sumbangan pada Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak dengan menggunakan formulir penerimaan sumbangan.

Jumat, 25 Mei 2012

Hanya pendapat tentang SPN 2011


                              image from : http://faisalsmn.wordpress.com/2011/09/30/sensus-pajak-nasional-spn/

Hanya untuk yang jujur
Sejak diterapkannya Self Assesment System dimana Wajib Pajak (WP) diberi kewenangan penuh untuk melaporkan dan menghitung pajak sendiri. Begitu juga dengan Sensus Pajak Nasional (SPN), hanya bedanya petugas pajak yang mendatangi WP untuk mengisi Formulir Isian Sensus (FIS).
SPN merupakan strategi mensiasati ketidakjujuran WP dengan diterapkannya Self Assesment System, untuk terhindar dari beban pajak atau sekedar memiliki NPWP.

Lebih disegani dan dihormati
Secara global SPN memberikan rasa berkeadilan dalam rangka pemenuhan kewajiban sebagai warga negara, yaitu taat pajak. Manfaat SPN yang bersifat instan adalah :
1.   Pemutakhiran data PBB dan non PBB;
2.   Penerbitan NPWP untuk penghasilan di atas PTKP dan belum memiliki NPWP;
3.   Pengukuhan PKP, untuk omset dalam tahun berjalan telah melebihi 600 juta rupiah;
4.   Penggalian potensi pajak, yaitu dari KMS, sewa tanah dan atau bangunan dan atas perolehan penghasilan;
5.   Pemenuhan kepatuhan Wajib Pajak, yaitu pelaporan SPT Tahunan;
6.   Pendataan harta kekayaan melalui pengamatan.
Satu tindakan dengan beragam fungsi menjadikan SPN suatu langkah cerdas, dengan meletakkannya pada Lembar Negara dengan menyandang sebutan Program Pemerintah, SPN semakin disegani dan dihormati.

Mau lebih, bekerjalah lebih
Ekstensifikasi
Kita sepakat kalau pemenuhan ekstensifikasi dapat terwujud dengan SPN. Karena memang tujuan pertama yang diemban juga adalah perluasan basis pajak (taxbase). Tindak lanjut SPN dengan penerbitan NPWP baiknya tetap memperhatikan dua faktor, yaitu :
1.   Selektif, karena dengan bercemin dari pengalaman PWPM terdapat satu subjek pajak memiliki dua NPWP yang berbeda. Seharusnya didukung dengan sistem filter melalui nama WP dan tanggal lahir, misalnya;
2.   Objektif, dengan tetap melihat bahwa apakah penghasilan yang disetahunkan telah di atas PTKP, untuk itu perlu dilakukan penghitungan yang disetahunkan baik secara manual dan akan lebih baik secara otomatis di dalam sistem. Karena memang komputerisasi untuk menghindari kesalahan dan membuat lebih efisien.

Pemutakhiran data
Karena sumber pendataannya adalah NOP PBB, sehingga sekaligus dapat berfungsi sebagai pendataan dan pemutakhiran data PBB, begitu juga dengan up date data identitas pada master file sistem perpajakan. Tentunya akan lebih mudah jika proses pencocokan, penambahan dan perubahan data tersebut tersistem secara otomatis.

Intensifikasi
Secara kasat mata adalah potensi PPN KMS dan PPh Pasal 4 ayat 2 atas sewa tanah dan atau bangunan, walaupun disayangkan FIS tidak memuat tahun mulai dibangunnya objek KMS tersebut, sehingga perlu komunikasi lebih lanjut untuk menentukan batasan luas yang terutang PPN KMS.
Pengamatan menurut saya tidak begitu bisa diandalkan, karena faktor singkatnya masa SPN sehingga keakuratan data hasil pengamatan terganggu. Untuk mengatasi tindakan pengamatan yang lemah tersebut, mungkin dapat ditambahkan kolom isian data kekayaan yang lazim saja, yaitu tanah, rumah dan kendaraan. Untuk selanjutnya dapat disandingkan antara besaran penghasilan dan nilai kekayaan tersebut.
Sebenarnya untuk subjek pajaknya adalah WP bendahara pemerintah, dapat didesain FIS yang memenuhi pengumpulan dan pemanfaatan data, antara lain identitas, jumlah pegawai, berapa yang sudah ber-NPWP, berapa penyerapan dananya, berapa penyetoran pajaknya, dan sebagainya.

Semangat dan harapan
Ibarat itik yang menetas dalam waktu yang sama, maka diberikan asupan gizi yang lebih untuk semua anak itik tersebut dan mengajarkannya bagaimana hidup sehat, sehingga si itik tahu dan sadar. Untuk nantinya dapat tumbuh sehat dan menghasilkan telur, bukan malah sakit dan mati. Walaupun memang untuk menghasilkan telur harus ada itiknya dulu, untuk dapat membayar pajak, ya harus ada NPWP dulu. Tinggal nanti bagaimana upaya keras kita untuk mewujudkan WP taat dan patuh pajak, itu tantangan selanjutnya.
Diperlukan peran pengawasan maksimal dari aparat pajak, pengawasan internal atas data yang terkait dengan WP itu sendiri maupun korelasinya (rekanan) serta data eksternal, antara lain dari media masa dan elektronik atau melalui lembaga atau organisasi yang mewadahi satu bidang usaha, misalnya GAPEKSI untuk usaha jasa konstruksi, REI untuk usaha real estate dan lainnya. Informasi lainnya dapat juga diperoleh dari WP yang memiliki hubungan istimewa, biasanya berbentuk grup atau bersifat saling keterikatan, misalnya WP “A” untuk grup usaha penambangan batu bara, perkebunan dan pengolahan sawit dengan WP “B”, dan sebagainya.
Yang terpenting adalah tersedianya data, proses pengumpulan data dan kemudahan akses pemanfaatan data tersebut, lalu terintegrasi dengan data internal tadi, maka itu adalah jurus pamungkas mengobati penyakit ketidakjujuran seperti yang telah dibahas di atas. Menurut saya seharusnya hal tersebut bersama kita kuatkan. Semoga penentu kebijakanpun berpihak dan berjuang murni untuk Indonesia yang lebih baik.

Kamis, 24 Mei 2012

Buku pelajaran umum, kitab suci dan buku pelajaran agama dibebaskan PPN


Seperti diketahui bahwa ada penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) tertentu yang tidak dikenai PPN serta atas impor dan atau penyerahannya ada juga yang dibebaskan. Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 146 Tahun 2000 sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 38 Tahun 2003 tentang Impor dan atau Penyerahan BKP Tertentu dan atau Penyerahan JKP Tertentu yang Dibebaskan Dari Pengenaan PPN disebutkan BKP tertentu yang atas impor dan atau penyerahannya dibebaskan antara lain buku-buku pelajaran umum, kitab suci dan buku-buku pelajaran agama. Lantas apa defenisi dan penjabaran lebih lanjut mengenai BKP tersebut?

Di dalam Undang-Undang PPN sebagaimana telah diubah terakhir Nomor 42 Tahun 2009 Pasal 16B ayat (1) disebutkan terdapat pajak terutang yang tidak dipungut atau dibebaskan, dengan maksud memberikan kemudahan antara lain dalam hal meningkatkan pendidikan dan kecerdasan bangsa dengan membantu tersedianya buku pelajaran umum, kitab suci, dan buku pelajaran agama dengan harga yang relatif terjangkau masyarakat. Pengetian tersebut tentunya ditujukan untuk penyerahan BKP yang dibebaskan sesuai PP di atas.

Adapun rincian jenis buku pelajaran umum, kitab suci dan buku pelajaran agama diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan RI. Nomor 353/KMK.03/2001 tentang Batasan Buku-Buku Pelajaran Umum, Kitab Suci dan Buku-buku Pelajaran Agama atas Impor dan atau Penyerahannya Dibebaskan dari Pengenaan PPN.
  1. Buku-buku pelajaran umum adalah buku-buku pelajaran pokok, penunjang dan kepustakaan yang dipergunakan oleh Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, Sekolah Lanjutan Tingkat Atas, Sekolah Luar Biasa, Perguruan Tinggi / Universitas, termasuk Sekolah Kejuruan, Lembaga Pendidikan Masyarakat di jalur Pendidikan Luar Sekolah dan Pendidikan Keagamaan mulai Tingkat Dasar sampai dengan Perguruan Tinggi yang mendukung kurikulum Sekolah yang bersangkutan, termasuk buku pelajaran umum yang telah disahkan sebagai buku pelajaran umum oleh Menteri Pendidikan Nasional atau pejabat yang ditunjuk.
  2. Tidak termasuk dalam pengertian buku-buku pelajaran umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah :
        a.   buku hiburan;
        b.   buku roman populer;
        c.   buku sulap;
        d.   buku iklan;
        e.   buku promosi suatu usaha;
        f.    buku katalog diluar keperluan pendidikan;
        g.   buku karikatur;
        h.   buku horoskop;
        i.    buku horor;
        j.    buku komik;
        k.   buku reproduksi lukisan.
  3. Kitab Suci adalah:
  • Kitab Suci Agama Islam meliputi Kitab Suci Al-qur'an, termasuk Tafsir dan terjemahannya baik secara keseluruhan maupun sebagian-sebagian dan Jus Amma;
  • Kitab Suci Agama Kristen Protestan meliputi Kitab Suci Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru termasuk Tafsir dan terjemahannya baik secara keseluruhan maupun sebagian-sebagian;
  • Kitab suci Agama Katolik meliputi Kitab Suci Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru termasuk Tafsir dan terjemahannya baik secara keseluruhan maupun sebagian-sebagian;
  • Kitab suci Agama Hindu meliputi Kitab Suci Weda, Smerti dan Sruti, Upanisad, Hitihasa, Purnama termasuk Tafsir dan terjemahannya baik secara keseluruhan maupun sebagian-sebagian;
  • Kitab suci Agama Budha meliputi Kitab Suci Tripitaka termasuk Tafsir dan terjemahannya baik secara keseluruhan maupun sebagian-sebagian;
  • Kitab lainnya yang telah ditetapkan sebagai kitab suci oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk.
4. Buku-buku pelajaran agama adalah buku-buku untuk keperluan pendidikan dan kepustakaan di bidang Agama yang dipergunakan pada Perguruan Umum dan Pendidikan Keagamaan dari Tingkat Dasar sampai dengan Perguruan Tinggi, Pondok Pesantren dan Sekolah Kejuruan yang mendukung kurikulum sekolah yang bersangkutan, termasuk buku pelajaran agama yang telah disahkan sebagai buku pelajaran agama oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk.

5. Tidak termasuk dalam pengertian buku-buku pelajaran agama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
    adalah:
    a.    buku hiburan;
    b.    buku roman populer;
    c.    buku karikatur;
    d.    buku komik;
    e.    buku reproduksi lukisan.

Senin, 02 April 2012

Langkah efektif pengisian 1770


Mengapa kita langsung berucap tidak dapat mengisi SPT Tahunan, sebelum kita mempelajari cara pengisiannya? Seharusnya kalau memang mau kelangsungan hidup pembiayaan pembangunan oleh negara lancar, ya... penerimaan pajak harus tercapai, yaitu dengan memenuhi kewajiban perpajakan dengan baik oleh wajib pajak. Perlu dipahami bersama bahwa pajak dari kita dan untuk kita. Selanjutnya, mau tidak mau pajak merupakan kewajiban kita sebagai warga negara Indonesia. Seperti halnya kita sebagai seorang muslim wajib mengetahui dan melaksanakan ajaran islam, begitu juga dengan pajak.

Menurut saya pada intinya pengisian SPT Tahunan adalah kemauan dan kejujuran.

Coba kita bahas pemenuhan penyampaian SPT Tahunan PPh WP Orang Pribadi. SPT Tahunan dapat diisi dengan mengikuti petunjuk pengisiannya. Atau dapat dibantu dengan berkonsultasi dengan Account Representative masing-masing. Memang baiknya diperlukan langkah-langkah efektif, sehingga SPT Tahunan dapat disampaikan dengan benar, jelas dan lengkap. Perlu saya sampaikan dahulu bahwa SPT Tahunan merupakan pelaporan pajak dari wajib pajak, termasuk istri dan anak yang belum dewasa.

Langkah-langkahnya adalah :

  1. Pengumpulan data/berkas, yaitu nilai penghasilan, kredit pajak termasuk bukti potong pajak, harta dan kewajiban/hutang.
  2. Pengelompokan penghasilan, yaitu penghasilan dari kegiatan usaha, pekerjaan, penghasilan dalam negeri lainnya, penghasilan yang menjadi objek pajak final dan penghasilan yang bukan objek pajak.
  3. Penentuan penghasilan netto, yaitu dengan menggunakan pembukuan atau norma penghitungan penghasilan netto.
  4. Penghitungan pajak terutang sampai status SPT Tahunan : Nihil, Kurang Bayar atau Lebih Bayar.
Isilah SPT Tahunan dimulai dari halaman terakhir, yaitu 1770-IV (harta, kewajiban dan susunan anggota keluarga), 1770-III (penghasilan final dan bukan objek pajak), 1770-II (daftar bukti potong untuk pajak yang tidak final), 1770-I (penghitungan penghasilan netto, halaman 1 jika menggunakan pembukuan dan halaman 2 jika menggunakan norma) dan terakhir 1770 (penghitungan PPh terutang dan statusnya).

Selanjutnya adalah elemen-elemen SPT yang berhubungan dengan kelengkapan SPT Tahunan, seperti yang sudah saya sampaikan di posting sebelumnya. Semoga pengisian SPT Tahunan kita lebih terarah, sehingga dapat dilakukan dengan mudah. 
 
© Copyright 2035 Easy Tax
Theme by Yusuf Fikri